SELAMAT DATANG

Sabtu, 20 November 2010

http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=fr&u=http://www.cairn.info/resume.php%3FID_ARTICLE%3DRDM_024_0329&ei=iNbnTODrFYf0ccHKrNYK&sa=X&oi=translate&ct=result&resnum=9&ved=0CFcQ7gEwCDgK&prev=/search%3Fq%3DMargaret%2BArcher%2Bdualisme.%26start%3D10%26hl%3Did%26sa%3DN%26biw%3D1304%26bih%3D707%26prmd%3Do

Rabu, 03 November 2010

Teori-teori sosial, menurut Giddens, selama ini terbelenggu oleh dualisme struktur (structure) dan agen (agency). Strukturalisme selalu mengakarkan segala persoalan pada struktur yang ada, sementara keagenan subjek selalu menimpakan manusia sebagai akar segala sesuatu. Dualisme ini memisahkan secara diametral antara subjek dan objek, antara struktur dan agen, yang seringkali membawa kita pada kegagalan untuk membaca fenomena sosial secara menyeluruh. Demikianlah tarik ulur dalam dunia filsafat dan teori sosial. Masing-masing membangun argumen dan mengembangkan pemikirannya.

Jika ditarik dalam ranah paradigma gerakan sosial, itulah yang disebut sebagai dualisme, yang menciptakan dua oposisi biner (saling berlawanan), yakni antara subjektifisme dan objektifisme, volunterisme dan determinisme. Subjektifisme dan volunterisme menegakkan kedaulatan subjek atau agen, sedangkan objektifisme dan determinisme merupakan lonceng kematian bagi subjek. Yang pertama mengatakan bahwa manusia penentu, sebagi pusat, dan sebagai subjek sejarah, sedangkan yang kedua menegaskan bahwa manusia, termasuk kesadarannya, ditentukan, dipengaruhi, dibentuk oleh struktur yang melingkupinya.

Yang dimaksud dengan subjek atau agen adalah kita, manusia, masyarakat, komunitas, pelaku, penggerak sejarah, atau makhluk hidup. Sedangkan struktur adalah system, aturan, nilai, norma, baik yang dilembagakan seperti peraturan perundang-udangan, atau tidak seperti aturan sosial, adat istiadat, kebiasaan, konvensi, maupun hukum informal yang berlaku di masyarakat.

Dualism tersebut dapat ditemukan dalam teori-teori utama dalam ilmu sosial seperti dalam fungsionalisme parsonian, marxisme, interiaksionisme Goffman, dan strukturalisme Sausserian maupun Poststrukturalisme Foucautldian dan Derridean. Kesemua teori tersebut, menurut Giddens, terjebak dalam dualisme di atas. Berikut ini adalah analisisnya tentang hal tersebut.

Fungsionalisme parsonian yang menjadi pijakan teoretik sosiologi keteraturan dipandang mensubordinasikan subjek (individu, manusia) ke dalam masyarakat. Sebab dalam konstruksi sosial masyarakat, individu bukanlah pencetak nilai, melainkan hanya penerima dan pemindah nilai. Masyarakatlah sebagai sebuah sistem yang menentukan, bukan individu, bahkan individu ini secara niscaya akan melakukan proses penyesuaian terhadap empat subsistem dalam masyarakat (tujuan, adaptasi peran material, integrasi sosial, latensi atau perekat).

Giddens menolak pandangan tersebut dengan basis argumen bahwa setiap individu memiliki kebebasan dan refleksifitas; yang memiliki kebutuhan untuk dipenuhi bukanlah sistem sosial namun pelakunya; melepaskan proses sosial dengan konteks ruang dan waktu. Pendek kata, fungsionalisme ditolak karena meletakkan individu dideterminasi/ditentukan oleh system sosial yang berlaku di masyarakat, dan individu akan selalu menyesuaikan diri dengan system tersebut.

Marxisme mengikrarkan lonceng kematian manusia dihadapan basis struktur corak produksi masyarakat. Marx membagi realitas dalam dua kategori besar yaitu base-structure (struktur basis) dan supra-structur. Yang dimaksud dengan struktur basis adalah corak produksi masyarakat, atau cara masyarakat memenuhi kebutuhan ekonominya. Struktur basis ini hanya terdiri dari dua kelas, yakni kelas yang menguasai alat produksi yang disebut dengan kaum borjuasi, dan kelas yang tidak memiliki apa-apa selain tenaga dan pikiran, yang disebut sebagai kaum buruh atau proletar. Yang dimaksud dengan supra struktur adalah formasi struktur politik, hukum, agama, dan kesadaran masyarakat.

Menurut marxisme, struktur basis menentukan corak dan warna supra-struktur. Manusia dengan segala bentuk kesadaran dan kegelisahannya, metode pemikiran dan respons sosialnya, ditentukan semata-mata oleh determinisme mode of production (cara produksi). Di sinilah, Giddens mengkritik bahwa marxisme melecehkan kekuatan dan potensi manusia untuk mengelak dan melampaui kondisi objektif di luar dirinya.

Begitu juga dengan strukturalisme Sausserian dan poststrukturalisme. Manusia mampus di belantara bahasa. Kesadaran manusia dibentuk secara sistematik oleh semacam kode tersembunyi, yang tidak disadari, namun memiliki alat kekang luar biasa terhadap manusia. Manusia tidak mampu mengelak dari struktur tersebut yang menentukan segala-galanya. Kode atau struktur ini adalah rimbaraya bahasa, dengan segala aturan dan hukum-hukumnya. Bahasa yang dipakai menentukan pemahaman dan sikap seseorang.

Sebaliknya, interaksionisme simbolik, maupun sosiologi interpretatif lainnya, justru menegakkan kedaulatan agensi. Konstruksi sosial atas realitas ditentukan oleh cara subjek memaknainya. Interiaksionisme simbolik, misalnya, menekankan individu dalam menafsirkan lingkungan sosialnya, dan merekomendasikan manipulasi simbol-simbol untuk berpartisipasi dalam penciptaan kehidupan sosial yang teratur.

Dengan bangunan pemikiran seperti itu, Giddens, dalam rangka mengkonseptualisasi kembali teori-teori sosial, sudah memasuki wilayah filsafat. Giddens yang menawarkan teori strukturasi, mencoba untuk memetakan basis filosofis teori-teori sosial yang ada sebagai pintu masuk untuk merubuhkannya. Hanya saja, pemetaan filosofis tersebut sebatas dalam dua debat besar, yakni soal basis ontologis dan filsafat manusia. Padahal, jika mengacu Gibson Burrel dan Gareth Morgan, paling tidak terdapat empat basis filsafat tersembunyi dalam teori-teori sosial. Keempatnya adalah, basis ontologis, basis epistemologis, basis filsafat manusia, dan basis metodologis.

Basis ontologis memperdebatkan tentang hakekat atau sifat dasar yang ada (what is the nature of reality). Dalam debat ini teori-teori sosial terjebak dalam dualisme pandangan filsafat yang kontras. Yang pertama meyakini bahwa realitas di luar manusia merupakan realitas ciptaan, nama-nama, konsep untuk menjelaskan realitas sosial. Nominalisme, konvensionalisme, atau idealisme, merupakan kanal besar pandangan ini. Yang kedua, sebaliknya, realitas di luar manusia merupakan kenyataan yang niscaya, nyata, dan realitas yang teralami (empirical entities). Realitas ini terpisah secara independen dengan manusia, mendahului eksistensi dan kesadaran manusia.

Debat epsitemologis mempersoalkan hakekat pengetahuan dan kebenaran (what is the truth, source of truth, etc). Debat ini juga menjerumuskan teori-teori sosial dalam dua jurang kesesatan yang ekstrim. Keduanya adalah epistemologi positivis dan antipositivis. Jurang kedua pada dasarnya memekar dalam tiga aliran: postpositivis, teori kritis, dan konstruktivis. Kaum positivis beranggapan bahwa terdapat realitas eksternal objektif di luar manusia yang dapat dikenali dengan menjaga jarak antara objek dan peneliti. Basis keilmuan riset tidak lain adalah pengetahuan yang dapat dibuktikan melalui pengamatan dan eksperimen. Realitas dapat diteliti dengan ciri khas objektif, dapat diuji, dapat digeneralisasikan, dapat diulang. Riset dalam tradisi ini bertujuan untuk melakukan teorisasi (pendekatan induksi), menguji teori (pendekatan deduksi), dan implementasi teori (falsifikasi popperian).

Kaum antipositivis, sebaliknya, menggeser subjek atau peneliti sebagai faktor paling menentukan dalam mencapai pengetahuan. Pengetahuan tentang realitas sosial hanya bisa didapat dari pengalaman langsung seseorang yang terlibat dalam peristiwa sosial. Realitas sosial hanya dapat dimengerti melalui sisi dalam, bukan sisi luar, melalui keterlibatan dan interaksi dialogis antara peneliti dan yang diteliti, bukan penjagaan jarak.

Debat filsafat manusia berpusat pada hakekat manusia, apakah bebas merdeka, ataukah sebaliknya, ditentukan oleh lingkungan di luar dirinya. Apakah manusia berkemauan bebas ataukah ditentukan oleh kekuatan suprahuman. Sebagaimana yang terdahulu, teori-teori sosial kembali terperosok dalam lubang yang sama. Terdapat dua konsep filosofis dalam pemahaman mengenai manusia. Yaitu manusia sepenuhnya bebas, pencipta, berkehendak bebas, aktif, menentukan apa yang hendak dan tidak dilakukan, yang disebut dengan konsepsi volunteris. Bertolak belakang dengan yang pertama, konsepsi filosofis determinis dengan tanpa ragu sedikitpun merayakan kematian manusia. Manusia ditentukan oleh realitas eksternal.

Debat metodologis, yang berasyik masuk bertengkar soal cara memperoleh pengetahuan, melahirkan dua istilah yang diambil dari filsuf Jerman, Windelband: ideografis dan nomotetis. Pendekatan nomotetik menyodorkan riset deduktif, induktif, deskriptif, eskpermentatif, dan sebagainya sebagai jalan untuk memperoleh pengetahuan yang objektif, valid, universal. Desain risetnya dikarakterisasikan dengan kejelasan populasi dan sampling, kejelasan pengumpulan data, jelas definisi operasional dan instrumentasinya, serta kejelasan dalam cara analisis data (metode statistik yang dipakai). Alur penyimpulan faktanya adalah kejelasan konsep, yang dijabarkan dalam preposisi, didefinisikan secara operasional, dipilah variabel-variabelnya, dijabarkan dalam unit-unit kecil, kemudian diambil suatu hipotesis.

Refleksi: Melampaui dualisme radikal, tugas gerakan sosial

Semua teori-teori sosial bertumpu di atas empat basis filosofis di atas. Beberapa ilmuwan dan filsuf menambahkan basis aksiologis yang berbeda pula. Jika dipilah secara garis besar, dalam teori sosial terdapat dua pendekatan terhadap realitas sosial. Pendekatan subjektif yang berakar pada idealisme Jerman dan pendekatan objektif yang berakar pada filsafat positifisme. Pendekatan subjektif bertumpu nominalisme, antipositivisme, volunterisme, dan ideografis, sedangkan pendekatan objektif bertumpu pada realisme, positivisme, determinisme, dan nomotetis.

Posisi keduanya merupakan oposisi biner, dualisme, dan saling menegasikan. Hingga saat ini teori-teori sosial, dari klasik, hingga kontemporer, masih terjebak dalam dualisme tersebut. Kebuntuan teori-teori sosial dalam menafsirkan realitas sosial, apalagi mendorong perubahannnya sebagaimana dengan heroik dipekikkan oleh Marx, tidak terlepas dari akar-akar filsafat tersembunyinya. Kebuntuan ini akhirnya melahirkan sintesis baru yang diciptakan Anthony Giddens dengan mentrasnformasikan dualisme menjadi dualitas. Selama ini, menurutnya, teori sosial tersesat dalam mendefinisikan objeknya. Objek teori sosial terletak dalam persilangan antara agen dan struktur, dalam praktek sosial yang berulang dan terpola dalam ruang dan waktu, dan bukannya pemahaman individu terhadap simbol sebagaimana sosiologi interpretatif, atau dinamika struktural seperti corak produksi sebagaimana keluguan marxisme ortodoks.

Namun ijtihad Giddens nampaknya terbentur tembok buntu yang begitu tebal. Teori strukturasinya terlalu khusnudhon terhadap akhlak tercela atau tendensi-tendensi manusia yang jahat. Formasi sosial, dalam teori perubahan Giddens, dapat ditransformasikan dengan mendiamkan struktur yang mengkerangkainya, terlihat teramat naif dan lugu, di dunia yang begitu pintar memaksa efektifitas, efisiensi, pelipatan akumulasi, hegemoni-hedonistik, dan selalu gagal melembagakan ketulusan, keikhlasan, empatik, dalam lembaga-lembaga modernitas, termasuk universitas.

copy dari:
http://bpmf-pijar.blogspot.com/2010/04/akar-akar-filsafat-dalam-teori-teori.html