SELAMAT DATANG

Minggu, 08 Mei 2011

LANDASAN DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING

1. LANDASAN FILOSOFIS
1.1 Makna dan Fungsi Prinsip-prinsip Filosofis Bimbingan Konseling
Kata filosofis atau filsafat berasal dari bahasa Yunani: Philos berarti cinta dan sophos berarti bijaksana, jadi filosofis berarti kecintaan terhadap kebijaksanaan. Sikun pribadi mengartikan filsafat sebagai suatu “usaha manusia untuk memperoleh pandangan atau konsepsi tentang segala yang ada, dan apa makna hidup manusia dialam semesta ini”.[1]
Filsafat mempunyai fungsi dalam kehidupan manusia, yaitu bahwa :
1) Setiap manusia harus mengambil keputusan atau tindakan,
2) Keputusan yang diambil adalah keputusan diri sendiri
3) Dengan berfilsafat dapat mengurangi salah paham dan konflik, dan
4) Untuk menghadapi banyak kesimpangsiuran dan dunia yang selalu berubah.
Dengan berfilsafat seseorang akan memperoleh wawasan atau cakrawala pemikiran yang luas sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat John J. Pietrofesa et. al. (1980) mengemukakan pendapat James Cribin tentang prinsip-prinsip filosofis dalam bimbingan sebagai berikut:
a. Bimbingan hendaknya didasarkan kepada pengakuan akan kemuliaan dan harga diri individu dan hak-haknya untuk mendapat bantuannya.
b. Bimbingan merupakan proses yang berkeseimbangan
c. Bimbingan harus Respek terhadap hak-hak klien
d. Bimbingan bukan prerogatif kelompok khusus profesi kesehatan mental
e. Fokus bimbingan adalah membantu individu dalam merealisasikan potensi dirinya
f. Bimbingan merupakan bagian dari pendidikan yang bersifat individualisasi dan sosialisasi
1.2 Hakikat Manusia
a. B.F Skinner dan Watsan (Gerold Corey, Terjemahan E. Koeswara, 1988). Mengemukakan tentang hakekat manusia:
- Manusia dipandang memiliki kecenderungan-kecenderungan positif dan negatif yang sama
- Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budaya
- Segenap tingkah laku manusia itu dipelajari
- Manusia tidak memiliki kemampuan untuk membentuk nasibnya sendiri
b.Virginia Satir (Dalam Thompson dan Rodolph, 1983). Memandang bahwa manusia pada hakekatnya positif, Satir berkesimpulan bahwa pada setiap saat, dalam suasana apapun juga, manusia dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
Upaya-upaya bimbingan dan konseling perlu didasarkan pada pemahaman tentang hakekat manusia agar upaya-upaya tersebut dapat lebih efektif.
1.3 Tugas dan Tujuan Kehidupan
Witner dan Sweeney (dalam Prayitno dan Erman Anti, 2002) mengemukakan bahwa ciri-ciri hidup sehat ditandai dengan 5 kategori, yaitu:
- Spiritualitas ~ agama sebagai sumber inti dari hidup sehat.
- Pengaturan diri ~ seseorang yang mengamalkan hidup sehat pada dirinya terdapat ciri-ciri 1. rasa diri berguna, 2. pengendalian diri, 3.pandangan realistik, 4. spontanitas dan kepekaan emosional, 5. kemampuan rekayasa intelektual, 6. pemecahan masalah, 7. kreatif, 8. kemampuan berhumor dan, 9. kebugaran jasmani dan kebiasaan hidup sehat.
- Bekerja ~ untuk memperoleh keuntungan ekonomis, psikologis dan sosial
- Persahabatan ~ persahabatan memberikan 3 keutamaan dalam hidup yaitu 1. dukungan emosional 2. dukungan material 3. dukungan informasi .
- Cinta ~ penelitian flanagan 1978 (dalam Prayitno dan Erman Anti, 2006) menemukan bahwa pasangan hidup suami istri, anak dan teman merupakan tiga pilar utama bagi keseluruhan pencipta kebahagiaan manusia.
Paparan tentang hakikat, tujuan dan tugas kehidupan manusia diatas mempunyai implikasi kepada layanan bimbingan dan konseling.
B. Landasan Historis
  1. Sekilas tentang sejarah bimbingan dan konseling
Secara umum, konsep bimbingan dan konseling telah lama dikenal manusia melalui sejarah. Sejarah tentang pengembangan potensi individu dapat ditelusuri dari masyarakat yunani kono. Mereka menekankan upaya-upaya untuk mengembangkan dan menguatkan individu melalui pendidikan. Plato dipandang sebagan koselor Yunani Kuno karena dia telah menaruh perhatian besar terhadap masalah-masalah pemahaman psikologis individu seperti menyangkut aspek isu-isu moral, pendidikan, hubungan dalam masyarakat dan teologis.
  1. Perkembangan Layanan Bimbingan di Amerika
Sampai awal abad ke-20 belum ada konselor disekolah. Pada saat itu pekerjaan-pekerjaan konselor masih ditangani oleh para guru.
Gerakan bimbingan disekolah mulai berkembang sebagai dampak dari revolusi industri dan keragaman latar belakang para siswa yang masuk kesekolah-sekolah negeri. Tahun 1898 Jesse B. Davis, seorang konselor di Detroit mulai memberikan layanan konseling pendidikan dan pekerjaan di SMA. Pada tahun 1907 dia memasukkan program bimbingan di sekolah tersebut.
Pada waktu yang sama para ahli yang juga mengembangkan program bimbingan ini diantaranya; Eli Weaper, Frank Parson, E.G Will Amson, Carlr. Rogers.
- Eli Weaper pada tahun 1906 menerbitkan buku tentang “memilih suatu karir” dan membentuk komite guru pembimbing disetiap sekolah menengah di New York. Kamite tersebut bergerak untuk membantu para pemuda dalam menemukan kemampuan-kemampuan dan belajar tentang bimbingan menggunakan kemampuan-kemampuan tersebut dalam rangka menjadi seorang pekerja yang produktif.
- Frank Parson dikenal sebagai “Father of The Guedance Movement in American Education”. Mendirikan biro pekerjaan tahun 1908 di Boston Massachussets, yang bertujuan membantu pemuda dalam memilih karir uang didasarkan atas proses seleksi secara ilmiyah dan melatih guru untuk memberikan pelayanan sebagai koselor.
Bradley (John J.Pie Trafesa et. al., 1980) menambah satu tahapan dari tiga tahapan tentang sejarah bimbingan menurut Stiller, yaitu sebagai berikut:
1) Vocational exploration : Tahapan yang menekankan tentang analisis individual dan pasaran kerja
2) Metting Individual Needs : Tahapan yang menekankan membantu individu agar meeting memperoleh kepuasan kebutuhan hidupnya. Perkembangan BK pada tahapan ini dipengaruhi oleh diri dan memecahkan masalahnya sendiri.
3) Transisional Professionalism : Tahapan yang memfokuskan perhatian kepada upaya profesionalisasi konselor
4) Situasional Diagnosis : Tahapan sebagai periode perubahan dan inovasi pada tahapan ini memfokuskan pada analisis lingkungan dalam proses bimbingan dan gerakan cara-cara yang hanya terpusat pada individu.
  1. Perkembangan Layanan Bimbingan Di Indonesia
Layanan BK di industri Indonesia telah mulai dibicarakan sejak tahun 1962. ditandai dengan adanya perubahan sistem pendidikan di SMA yakni dengan adanya program penjurusan, program penjurusan merupakan respon akan kebutuhan untuk menyalurkan siswa kejurusan yang tepat bagi dirinya secara perorangan. Puncak dari usaha ini didirikan jurusan Bimbingan dan penyuluhan di Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Negeri, salah satu yang membuka jurusan tersebut adalah IKIP Bandung (sekrang berganti nama Universitas Pendidikan Indonesia).
Dengan adanya gagasan sekolah pembangunan pada tahun 1970/1971, peranan bimbingan kembali mendapat perhatian. Gagasan sekolah pembangunan ini dituangkan dalam program sekolah menengah pembangunan persiapan, yang berupa proyek percobaan dan peralihan dari sistem persekolahan Cuma menjadi sekolah pembangunan.
Sistem sekolah pembangunan tersebut dilaksanakan melalui proyek pembaharuan pendidikan yang dinamai PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan) yang diujicobakan di 8 IKIP. Badan pengembangan pendidikan berhasil menyusun 2 naskah penting yakni dengan pola dasar rencana-rencana pembangunan program Bimbingan dan penyuluhan melalui proyek-proyek perintis sekolah pembangunan dan pedoman operasional pelayanan bimbingan pada PPSP.
Secara resmi BK di programkan disekolah sejak diberlakukan kurikulum 1975, tahun 1975 berdiri ikatan petugas bimbingan Indonesia (IPBI) di Malang.
Penyempurnaan kurikulum 1975 ke kurikulum 1984 dengan memasukkan bimbingan karir di dalamnya. Selanjutnya UU No. 0/1989 tentang Sisdiknas membuat mantap posisi bimbingan dan konseling yang kian diperkuat dengan PP No. 20 Bab X Pasal 25/1990 dan PP No. 29 Bab X Pal 27/1990 yang menyatakan bahwa “Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan.
Perkembangan BK di Indonesia semakin mantap dengan berubahnya 1 PBI menjadi ABKIN (Asuransi Bimbingan dan Konseling Indonesia) tapa tahun 2001.
C. Landasan Religius
Dalam landasan religius BK diperlukan penekanan pada 3 hal pokok:
a. Keyakinan bahwa mnusia dan seluruh alam adalah mahluk tuhan
b. Sikap yang mendorong perkembangan dan perikehidupan manusia berjalan kearah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama
c. Upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat budaya serta kemasyarakatan yang sesuai dengan kaidah-kaidah agama untuk membentuk perkembangan dan pemecahan masalah individu
Landasan Religius berkenaan dengan :
  1. Manusia sebagai Mahluk Tuhan
Manusia adalah mahluk Tuhan yang memiliki sisi-sisi kemanusiaan. Sisi-sisi kemanusiaan tersebut tdiak boleh dibiarkan agar tidak mengarah pada hal-hal negatif. Perlu adanya bimbingan yang akan mengarahkan sisi-sisi kemanusiaan tersebut pada hal-hal positif.

  1. Sikap Keberagamaan
Agama yang menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan akhirat menjadi isi dari sikap keberagamaan. Sikap keberagamaan tersebut pertama difokuskan pada agama itu sendiri, agama harus dipandang sebagai pedoman penting dalam hidup, nilai-nilainya harus diresapi dan diamalkan. Kedua, menyikapi peningkatan iptek sebagai upaya lanjut dari penyeimbang kehidupan dunia dan akhirat.
  1. Peranan Agama
Pemanfaatan unsur-unsur agama hendaknya dilakukan secara wajar, tidak dipaksakan dan tepat menempatkan klien sebagai seorang yang bebas dan berhak mengambil keputusan sendiri sehingga agama dapat berperan positif dalam konseling yang dilakukan agama sebagai pedoman hidup ia memiliki fungsi :
a. Memelihara fitrah
b. Memelihara jiwa
c. Memelihara akal
d. Memelihara keturunan
D. Landasan Psikologis
Landasan prikologis dalam BK memberikan pemahaman tentang tingkah laku individu yang menajadi sasaran (klien). Hal ini sangat penting karena bidang garapan bimbingan dan konseling adalah tingkah laku klien, yaitu tingkah laku yang perlu diubah atau dikembangkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi
Untuk keperluan bimbingan dan konseling sejumlah daerah kajian dalam bidang psikologi perlu dikuasai, yaitu tentang:
1. Motif dan motivasi
2. Pembawaan dasar dan lingkungan
3. Perkembangan individu
4. Belajar, balikan dan penguatan
5. Kepribadian
E. Landasan Sosial Budaya
Kebudayaan akan bimbingan timbul karena terdapat faktor yang menambah rumitnya keadaan masyarakat dimana individu itu hidup. Faktor-faktor tersebut seperti perubahan kontelasi keuangan, perkembagan pendidikan, dunia-dunia kerja, perkembangan komunikasi dll (Jonh), Pietrofesa dkk, 1980; M. Surya & Rochman N, 1986; dan Rocman N, 1987)
  1. Individu sebagai Produk Lingkungan Sosial Budaya
MC Daniel memandang setiap anak, sejak lahirnya harus memenuhi tidak hanya tuntutan biologisnya, tepapi juga tuntutan budaya ditempat ia hidup, tuntutan Budaya itu menghendaki agar ia mengembangkan tingkah lakunya sehingga sesuai dengan pola-pola yang dapat diterima dalam budaya tersebut.[2]
Tolbert memandang bahwa organisasi sosial, lembaga keagamaan, kemasyarakatan, pribadi, dan keluarga, politik dan masyarakat secara menyeluruh memberikan pengaruh yang kuat terhadap sikap, kesempatan dan pola hidup warganya. Unsur-unsur budaya yang ditawarkan oleh organisasi dan budaya lembaga-lembaga tersebut mempengaruhi apa yang dilakukan dan dipikirkan oleh individu, tingkat pendidikan yang ingin dicapainya, tujuan-tujuan dan jenis-jenis pekerjaan yang dipilihnya, rekreasinya dan kelompok-kelompok yang dimasukinya.[3]
Bimbingan konseling harus mempertimbangkan aspek sosial budaya dalam pelayanannya agar menghasilkan pelayanan yang lebih efektif.
  1. Bimbingan dan Konseling Antara Budaya
Menurut Pedersen, dkk ada 5 macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi non verbal, stereotip, kecenderungan menilai, dan kecemasan[4].
Perbedaan dalam latar belakang ras atau etnik, kelas sosial ekonomi dan pola bahasa menimbulkan masalah dalam hubungan konseling.
Beberapa Hipotesis yang dikemukakan Pedersen dkk (1976) tentang berbagai aspek konseling budaya antara lain:
- Makin besar kesamaan harapan tentang tujuan konseling antara budaya pada diri konselor dan klien maka konseling akan berhasil
- Makin besar kesamaan pemohonan tentang ketergantungan, komunikasi terbuka, maka makin efektif konseling tersebut
- Makin sederhana harapan yang diinginkan oleh klien maka makin berhasil konseling tersebut
- Makin bersifat personal, penuh suasana emosional suasana konseling antar budaya makin memudahkan konselor memahami klien.
- Keefektifan konseling antara budaya tergantung pada kesensitifan konselor terhadap proses komunikasi
- Keefektifan konseling akan meningkat jika ada latihan khusus serta pemahaman terhadap permasalahan hidup yang sesuai dengan budaya tersebut.
- Makin klien kurang memahami proses konseling makin perlu konselor /program konseling antara budaya memberikan pengarahan tentang proses ketrampilan berkomunikasi, pengambilan keputusan dan transfer.
F. Landasan ilmiah dan Teknologis
Pelayanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan professional yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teori-teorinya, pelaksanaan kegiatannya, maupun pengembangan-pengembangan layanan itu secara berkelanjutan.
1. Keilmuan Bimbingan dan Konseling
Ilmu bimbingan dan konseling adalah berbagai pengetahuan tentang bimbingan dan konseling yang tersusun secara logis dan sistematik. Sebagai layaknya ilmu-ilmu yang lain, ilmu bimbingan dan konseling mempunyai obyek kajiannya sendiri, metode pengalihan pengetahuan yang menjadi ruang lingkupnya, dan sistematika pemaparannya.
Obyek kajian bimbingan dan konseling ialah upaya bantuan yang diberikan kepada individu yang mangacu pada ke-4 fungsi pelayanan yakni fungsi pemahaman, pencegahan, pengentasan dan pemeliharaan/ pengembangan. Dalam menjabarkan tentang bimbingan dan konseling dapat digunakan berbagai cara/ metode, seperti pengamatan, wawancara, analisis document (Riwayat hidup, laporan perkembangan), prosedur teks penelitian, buku teks, dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya mengenai obyek kajian bimbingan dan konseling merupakan wujud dari keilmuan bimbingan dan konseling.
2. Peran Ilmu Lain dan Teknologi dalam Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang bersifat multireferensial, artinya ilmu dengan rujukan berbagai ilmu yang lain. Misalnya ilmu statistik dan evaluasi memberikan pemahaman dan tehnik-tehnik. Pengukuran dan evaluasi karakteristik individu; biologi memberikan pemahaman tentang kehidupan kejasmanian individu. Hal itu sangat penting bagi teori dan praktek bimbingan dan konseling.
3. Pengembangan Bimbingan Konseling Melalui Penelitian
Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling boleh jadi dapat dikembangkan melalui proses pemikiran dan perenungan, namun pengembangan yang lebih lengkap dan teruji didalam praktek adalah apabila pemikiran dan perenungan itu memperhatikan pula hasil-hasil penelitian dilapangan. Melalui penelitian suatu teori dan praktek bimbingan dan konseling menemukan pembuktian tentang ketepatan/ keefektifan dilapangan. Layanan bimbingan dan konseling akan semakin berkembangan dan maju jika dilakukan penelitian secara terus menerus terhadap berbagai aspek yang berhubungan dengan BK.
G. Landasan Pedagogis
Pendidikan itu merupakan salah satu lembaga sosial yang universal dan berfungsi sebagai sarana reproduksi sosial ( Budi Santoso, 1992)
1. Pendidikan sebagai upaya pengembangan Individu: Bimbingan merupakan bentuk upaya pendidikan.
Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Seorang bagi manusia hanya akan dapat menjadi manusia sesuai dengan tuntutan budaya hanya melalui pendidikan. Tanpa pendidikan, bagi manusia yang telah lahir itu tidak akan mampu memperkembangkan dimensi keindividualannya, kesosialisasinya, kesosilaanya dan keberagamaanya.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menetapkan pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
2. Pendidikan sebagai inti Proses Bimbingan Konseling.
Bimbingan dan konseling mengembangkan proses belajar yang dijalani oleh klien-kliennya. Kesadaran ini telah tampil sejak pengembangan gerakan Bimbingan dan Konseling secara meluas di Amerika Serikat . pada tahun 1953, Gistod telah menegaskan Bahwa Bimbingan dan Konseling adalah proses yang berorientasi pada belajar……, belajar untuk memahami lebih jauh tentang diri sendiri, belajar untuk mengembangkan dan merupakan secara efektif berbagai pemahaman.. (dalam Belkin, 1975). Lebih jauh, Nugent (1981) mengemukakan bahwa dalam konseling klien mempelajari ketrampilan dalam pengambilan keputusan. Pemecahan masalah, tingkah laku, tindakan, serta sikap-sikap baru . Dengan belajar itulah klien memperoleh berbagai hal yang baru bagi dirinya; dengan memperoleh hal-hal baru itulah klien berkembang.
3. Pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan Bimbingan tujuan dan konseling
Tujuan Bimbingan dan Konseling disamping memperkuat tujuan-tujuan pendidikan, juga menunjang proses pendidikan pada umumnya. Hal itu dapat dimengerti karena program-program bimbingan dan konseling meliputi aspek-aspek tugas perkembangan individu, khususnya yang menyangkut kawasan kematangan pendidikan karier, Kematangan personal dan emosional, serta kematangan sosial, semuanya untuk peserta didik pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SLTP) dan pendidikan menengah (Borders dan Drury, 1992). Hasil-hasil bimbingan dan konseling pada kawasan itu menunjang keberhasilan pendidikan pada umumnya.

Sabtu, 20 November 2010

http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=fr&u=http://www.cairn.info/resume.php%3FID_ARTICLE%3DRDM_024_0329&ei=iNbnTODrFYf0ccHKrNYK&sa=X&oi=translate&ct=result&resnum=9&ved=0CFcQ7gEwCDgK&prev=/search%3Fq%3DMargaret%2BArcher%2Bdualisme.%26start%3D10%26hl%3Did%26sa%3DN%26biw%3D1304%26bih%3D707%26prmd%3Do

Rabu, 03 November 2010

Teori-teori sosial, menurut Giddens, selama ini terbelenggu oleh dualisme struktur (structure) dan agen (agency). Strukturalisme selalu mengakarkan segala persoalan pada struktur yang ada, sementara keagenan subjek selalu menimpakan manusia sebagai akar segala sesuatu. Dualisme ini memisahkan secara diametral antara subjek dan objek, antara struktur dan agen, yang seringkali membawa kita pada kegagalan untuk membaca fenomena sosial secara menyeluruh. Demikianlah tarik ulur dalam dunia filsafat dan teori sosial. Masing-masing membangun argumen dan mengembangkan pemikirannya.

Jika ditarik dalam ranah paradigma gerakan sosial, itulah yang disebut sebagai dualisme, yang menciptakan dua oposisi biner (saling berlawanan), yakni antara subjektifisme dan objektifisme, volunterisme dan determinisme. Subjektifisme dan volunterisme menegakkan kedaulatan subjek atau agen, sedangkan objektifisme dan determinisme merupakan lonceng kematian bagi subjek. Yang pertama mengatakan bahwa manusia penentu, sebagi pusat, dan sebagai subjek sejarah, sedangkan yang kedua menegaskan bahwa manusia, termasuk kesadarannya, ditentukan, dipengaruhi, dibentuk oleh struktur yang melingkupinya.

Yang dimaksud dengan subjek atau agen adalah kita, manusia, masyarakat, komunitas, pelaku, penggerak sejarah, atau makhluk hidup. Sedangkan struktur adalah system, aturan, nilai, norma, baik yang dilembagakan seperti peraturan perundang-udangan, atau tidak seperti aturan sosial, adat istiadat, kebiasaan, konvensi, maupun hukum informal yang berlaku di masyarakat.

Dualism tersebut dapat ditemukan dalam teori-teori utama dalam ilmu sosial seperti dalam fungsionalisme parsonian, marxisme, interiaksionisme Goffman, dan strukturalisme Sausserian maupun Poststrukturalisme Foucautldian dan Derridean. Kesemua teori tersebut, menurut Giddens, terjebak dalam dualisme di atas. Berikut ini adalah analisisnya tentang hal tersebut.

Fungsionalisme parsonian yang menjadi pijakan teoretik sosiologi keteraturan dipandang mensubordinasikan subjek (individu, manusia) ke dalam masyarakat. Sebab dalam konstruksi sosial masyarakat, individu bukanlah pencetak nilai, melainkan hanya penerima dan pemindah nilai. Masyarakatlah sebagai sebuah sistem yang menentukan, bukan individu, bahkan individu ini secara niscaya akan melakukan proses penyesuaian terhadap empat subsistem dalam masyarakat (tujuan, adaptasi peran material, integrasi sosial, latensi atau perekat).

Giddens menolak pandangan tersebut dengan basis argumen bahwa setiap individu memiliki kebebasan dan refleksifitas; yang memiliki kebutuhan untuk dipenuhi bukanlah sistem sosial namun pelakunya; melepaskan proses sosial dengan konteks ruang dan waktu. Pendek kata, fungsionalisme ditolak karena meletakkan individu dideterminasi/ditentukan oleh system sosial yang berlaku di masyarakat, dan individu akan selalu menyesuaikan diri dengan system tersebut.

Marxisme mengikrarkan lonceng kematian manusia dihadapan basis struktur corak produksi masyarakat. Marx membagi realitas dalam dua kategori besar yaitu base-structure (struktur basis) dan supra-structur. Yang dimaksud dengan struktur basis adalah corak produksi masyarakat, atau cara masyarakat memenuhi kebutuhan ekonominya. Struktur basis ini hanya terdiri dari dua kelas, yakni kelas yang menguasai alat produksi yang disebut dengan kaum borjuasi, dan kelas yang tidak memiliki apa-apa selain tenaga dan pikiran, yang disebut sebagai kaum buruh atau proletar. Yang dimaksud dengan supra struktur adalah formasi struktur politik, hukum, agama, dan kesadaran masyarakat.

Menurut marxisme, struktur basis menentukan corak dan warna supra-struktur. Manusia dengan segala bentuk kesadaran dan kegelisahannya, metode pemikiran dan respons sosialnya, ditentukan semata-mata oleh determinisme mode of production (cara produksi). Di sinilah, Giddens mengkritik bahwa marxisme melecehkan kekuatan dan potensi manusia untuk mengelak dan melampaui kondisi objektif di luar dirinya.

Begitu juga dengan strukturalisme Sausserian dan poststrukturalisme. Manusia mampus di belantara bahasa. Kesadaran manusia dibentuk secara sistematik oleh semacam kode tersembunyi, yang tidak disadari, namun memiliki alat kekang luar biasa terhadap manusia. Manusia tidak mampu mengelak dari struktur tersebut yang menentukan segala-galanya. Kode atau struktur ini adalah rimbaraya bahasa, dengan segala aturan dan hukum-hukumnya. Bahasa yang dipakai menentukan pemahaman dan sikap seseorang.

Sebaliknya, interaksionisme simbolik, maupun sosiologi interpretatif lainnya, justru menegakkan kedaulatan agensi. Konstruksi sosial atas realitas ditentukan oleh cara subjek memaknainya. Interiaksionisme simbolik, misalnya, menekankan individu dalam menafsirkan lingkungan sosialnya, dan merekomendasikan manipulasi simbol-simbol untuk berpartisipasi dalam penciptaan kehidupan sosial yang teratur.

Dengan bangunan pemikiran seperti itu, Giddens, dalam rangka mengkonseptualisasi kembali teori-teori sosial, sudah memasuki wilayah filsafat. Giddens yang menawarkan teori strukturasi, mencoba untuk memetakan basis filosofis teori-teori sosial yang ada sebagai pintu masuk untuk merubuhkannya. Hanya saja, pemetaan filosofis tersebut sebatas dalam dua debat besar, yakni soal basis ontologis dan filsafat manusia. Padahal, jika mengacu Gibson Burrel dan Gareth Morgan, paling tidak terdapat empat basis filsafat tersembunyi dalam teori-teori sosial. Keempatnya adalah, basis ontologis, basis epistemologis, basis filsafat manusia, dan basis metodologis.

Basis ontologis memperdebatkan tentang hakekat atau sifat dasar yang ada (what is the nature of reality). Dalam debat ini teori-teori sosial terjebak dalam dualisme pandangan filsafat yang kontras. Yang pertama meyakini bahwa realitas di luar manusia merupakan realitas ciptaan, nama-nama, konsep untuk menjelaskan realitas sosial. Nominalisme, konvensionalisme, atau idealisme, merupakan kanal besar pandangan ini. Yang kedua, sebaliknya, realitas di luar manusia merupakan kenyataan yang niscaya, nyata, dan realitas yang teralami (empirical entities). Realitas ini terpisah secara independen dengan manusia, mendahului eksistensi dan kesadaran manusia.

Debat epsitemologis mempersoalkan hakekat pengetahuan dan kebenaran (what is the truth, source of truth, etc). Debat ini juga menjerumuskan teori-teori sosial dalam dua jurang kesesatan yang ekstrim. Keduanya adalah epistemologi positivis dan antipositivis. Jurang kedua pada dasarnya memekar dalam tiga aliran: postpositivis, teori kritis, dan konstruktivis. Kaum positivis beranggapan bahwa terdapat realitas eksternal objektif di luar manusia yang dapat dikenali dengan menjaga jarak antara objek dan peneliti. Basis keilmuan riset tidak lain adalah pengetahuan yang dapat dibuktikan melalui pengamatan dan eksperimen. Realitas dapat diteliti dengan ciri khas objektif, dapat diuji, dapat digeneralisasikan, dapat diulang. Riset dalam tradisi ini bertujuan untuk melakukan teorisasi (pendekatan induksi), menguji teori (pendekatan deduksi), dan implementasi teori (falsifikasi popperian).

Kaum antipositivis, sebaliknya, menggeser subjek atau peneliti sebagai faktor paling menentukan dalam mencapai pengetahuan. Pengetahuan tentang realitas sosial hanya bisa didapat dari pengalaman langsung seseorang yang terlibat dalam peristiwa sosial. Realitas sosial hanya dapat dimengerti melalui sisi dalam, bukan sisi luar, melalui keterlibatan dan interaksi dialogis antara peneliti dan yang diteliti, bukan penjagaan jarak.

Debat filsafat manusia berpusat pada hakekat manusia, apakah bebas merdeka, ataukah sebaliknya, ditentukan oleh lingkungan di luar dirinya. Apakah manusia berkemauan bebas ataukah ditentukan oleh kekuatan suprahuman. Sebagaimana yang terdahulu, teori-teori sosial kembali terperosok dalam lubang yang sama. Terdapat dua konsep filosofis dalam pemahaman mengenai manusia. Yaitu manusia sepenuhnya bebas, pencipta, berkehendak bebas, aktif, menentukan apa yang hendak dan tidak dilakukan, yang disebut dengan konsepsi volunteris. Bertolak belakang dengan yang pertama, konsepsi filosofis determinis dengan tanpa ragu sedikitpun merayakan kematian manusia. Manusia ditentukan oleh realitas eksternal.

Debat metodologis, yang berasyik masuk bertengkar soal cara memperoleh pengetahuan, melahirkan dua istilah yang diambil dari filsuf Jerman, Windelband: ideografis dan nomotetis. Pendekatan nomotetik menyodorkan riset deduktif, induktif, deskriptif, eskpermentatif, dan sebagainya sebagai jalan untuk memperoleh pengetahuan yang objektif, valid, universal. Desain risetnya dikarakterisasikan dengan kejelasan populasi dan sampling, kejelasan pengumpulan data, jelas definisi operasional dan instrumentasinya, serta kejelasan dalam cara analisis data (metode statistik yang dipakai). Alur penyimpulan faktanya adalah kejelasan konsep, yang dijabarkan dalam preposisi, didefinisikan secara operasional, dipilah variabel-variabelnya, dijabarkan dalam unit-unit kecil, kemudian diambil suatu hipotesis.

Refleksi: Melampaui dualisme radikal, tugas gerakan sosial

Semua teori-teori sosial bertumpu di atas empat basis filosofis di atas. Beberapa ilmuwan dan filsuf menambahkan basis aksiologis yang berbeda pula. Jika dipilah secara garis besar, dalam teori sosial terdapat dua pendekatan terhadap realitas sosial. Pendekatan subjektif yang berakar pada idealisme Jerman dan pendekatan objektif yang berakar pada filsafat positifisme. Pendekatan subjektif bertumpu nominalisme, antipositivisme, volunterisme, dan ideografis, sedangkan pendekatan objektif bertumpu pada realisme, positivisme, determinisme, dan nomotetis.

Posisi keduanya merupakan oposisi biner, dualisme, dan saling menegasikan. Hingga saat ini teori-teori sosial, dari klasik, hingga kontemporer, masih terjebak dalam dualisme tersebut. Kebuntuan teori-teori sosial dalam menafsirkan realitas sosial, apalagi mendorong perubahannnya sebagaimana dengan heroik dipekikkan oleh Marx, tidak terlepas dari akar-akar filsafat tersembunyinya. Kebuntuan ini akhirnya melahirkan sintesis baru yang diciptakan Anthony Giddens dengan mentrasnformasikan dualisme menjadi dualitas. Selama ini, menurutnya, teori sosial tersesat dalam mendefinisikan objeknya. Objek teori sosial terletak dalam persilangan antara agen dan struktur, dalam praktek sosial yang berulang dan terpola dalam ruang dan waktu, dan bukannya pemahaman individu terhadap simbol sebagaimana sosiologi interpretatif, atau dinamika struktural seperti corak produksi sebagaimana keluguan marxisme ortodoks.

Namun ijtihad Giddens nampaknya terbentur tembok buntu yang begitu tebal. Teori strukturasinya terlalu khusnudhon terhadap akhlak tercela atau tendensi-tendensi manusia yang jahat. Formasi sosial, dalam teori perubahan Giddens, dapat ditransformasikan dengan mendiamkan struktur yang mengkerangkainya, terlihat teramat naif dan lugu, di dunia yang begitu pintar memaksa efektifitas, efisiensi, pelipatan akumulasi, hegemoni-hedonistik, dan selalu gagal melembagakan ketulusan, keikhlasan, empatik, dalam lembaga-lembaga modernitas, termasuk universitas.

copy dari:
http://bpmf-pijar.blogspot.com/2010/04/akar-akar-filsafat-dalam-teori-teori.html

Rabu, 05 Mei 2010

Bener ternyata Ciri-ciri film korea yang bikin menarik yang katanya:

1. kalau pasangan lagi rindu,mereka ketempat dimana mereka pernah

melakukan hal yang seru atau istimewa dan mereka saling mengingatnya
padahal mereka uda ga saling kontak,tapi ikatan batin mereka kuat banget

2. mereka satu tempat tapi mereka nggak tau kalau yang di cintai mereka ada

di situ,,,wihhh romantis banget

3. kalau mereka bingung atau frustasi mereka mabuk-mabukan dan pada akhirnya

pacarnya atau orang yang di cintainya datang
dan membopaong diya sampai diya nginep di rumahnya ,,weh,,weh,,wehhhhhh,,
ngapain aj tuh???

Rabu, 28 April 2010

CARA BUAT BLOG

LGSG K BLOG SPOT.............,KETIK BLOGSPOT.COM,,,,, tapi jgn lupa buat email dlu yah,,,trusss siapin hp kamu buat konfirmasi,,klo mw tanya silahkan komen di blog saya ini atau ke facebook aq almtnya niervas_ursula_orsola@yahoo.com
Informasi Lowongan kerja terbaru | Informasi Penerimaan CPNS terupdate | Panduan Kerja Internet gratis | |Tipsa sukses kerja gratis

Senin, 26 April 2010

MAU KERJA?